UNAIR Psychology Holds Mental Health and Gender Equality Workshop for CSR Managers of PT. PLN Nusantara Power and Loh Jinawi Foundation

Isu kesehatan mental dan gender seringkali muncul di masyarakat. Dalam upaya memperkuat kapasitas individu dan institusi dalam menangani isu-isu ini, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) melalui Pusat Krisis dan Pengembangan Komunitas (PKPK) mengadakan workshop bertema “Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender”. Pelatihan ini melibatkan pengelola CSR PT. PLN Nusantara Power dan Yayasan Loh Jinawi, yang bersama-sama belajar untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam pendekatan korban KDRT serta mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan kesehatan mental.

PKPK, sebagai salah satu unit terapan di Fakultas Psikologi UNAIR, berkomitmen untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-3 yang memastikan kehidupan sehat dan kesejahteraan bagi semua individu di segala usia, serta tujuan ke-5 yang mendorong kesetaraan gender. Pelatihan ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengetahuan teoritis, tetapi juga untuk mendorong implementasi praktis yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan korban KDRT serta isu-isu kesehatan mental berbasis gender.

Kegiatan pelatihan ini dilaksanakan pada Rabu, 7 Agustus 2024. Bertempat di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya. Pelatihan ini dibagi menjadi dua sesi utama dengan narasumber pertama yaitu Dhian Kusumastuti, M.Psi., Psikolog dan narasumber kedua Bani Bacan Hacantya Yudanagara, S.Psi., M.Si.

Sesi pertama diisi dengan materi “Strategi Pendekatan pada Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Peserta diberikan materi mengenai strategi pendekatan yang efektif untuk korban KDRT. Psikolog yang menjadi narasumber pada sesi ini menjelaskan berbagai metode yang dapat digunakan dalam mendekati korban, termasuk pentingnya membangun rasa aman dan kepercayaan. Pemahaman terhadap kondisi korban menjadi fokus utama dalam pendekatan ini. Narasumber menjelaskan bahwa setiap korban memiliki pengalaman dan trauma yang berbeda, sehingga penting bagi pendamping untuk terlebih dahulu memahami kondisi psikologis korban sebelum memberikan bantuan.

Selain itu, narasumber juga memberikan panduan tentang bagaimana menghadapi korban yang belum siap untuk terbuka, termasuk teknik komunikasi yang dapat membantu korban merasa lebih nyaman untuk berbicara. Sebaliknya, jika korban sudah mulai terbuka, penting bagi pendamping untuk merespons dengan empati dan dukungan yang sesuai, tanpa menimbulkan tekanan atau ketakutan. Pada akhir sesi, para peserta diberikan kesempatan untuk mempraktikkan pengetahuan yang telah mereka pelajari melalui kegiatan roleplay. Dalam praktik ini, peserta diharapkan dapat menerapkan teknik konseling yang telah diperkenalkan, yang telah terbukti efektif dalam membantu korban mengatasi trauma dan memberikan dukungan yang berkelanjutan.

Sesi kedua diisi dengan materi “Kesehatan Mental dan Gender Mainstreaming”. Tujuan dari sesi ini adalah memberikan pemahaman menyeluruh kepada peserta mengenai dampak perspektif gender terhadap kesehatan mental. Narasumber menjelaskan bagaimana kesehatan mental melibatkan kesejahteraan emosional dan kemampuan menghadapi tantangan hidup, serta bagaimana gender mempengaruhi pengalaman dan penanganan masalah kesehatan mental. Peserta diperkenalkan pada konsep gender mainstreaming, yaitu integrasi perspektif gender dalam kebijakan dan program kesehatan mental, dan bagaimana stereotip gender dapat mempengaruhi stigma serta dukungan yang diberikan.

Diskusi interaktif di akhir sesi memungkinkan peserta untuk berbagi pengalaman dan pandangan, memperdalam pemahaman mereka tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas bias gender dalam mendukung kesejahteraan mental.

source
https://unair.ac.id